Menyikapi Film Remaja dan Kaitannya Terhadap Pelanggaran Undang-Undang Pornografi

Oleh: Irfan Harahap

Dua bulan yang lalu, tepatnya pada kamis 30 September 2008, RUU Pornografi disahkan. Namun penanganan terhadap penyimpangan pornografi belum juga dilakukan secara intensif. Tidak tampak keseriusan yang dilakukan pemerintah pusat maupun daerah dalam menertibkan materi, jasa, serta orang-orang yang melakukan pelanggaran pornografi. Masih banyak pelacur yang menawarkan diri di jalanan, masih tinggi tingkat seks bebas di kalangan remaja dan semakin maraknya penayangan film semi porno di bioskop-bioskop. Ketiga hal itu masih merupakan hal-hal yang diketahui masyarakat umum. Lalu bagaimana dengan hal-hal yang tidak diketahui masyarakat umum? Boleh jadi, tempat-tempat karokean, diskotik, ataupun kafe-kafe remang yang sering disinggahi pasangan pacaran merupakan tempat rahasia yang telah diketahui oleh umum sebagai tempat tersalurnya pornografi terselubung.
Apalagi yang ditunggu pemerintah, sampai-sampai hal-hal umum sekalipun belum bisa ditangani secepatnya? Padahal sudah sangat jelas UU Pornografi ini telah menempati posisinya di dalam undang-undang republik Indonesia. Apakah harus menunggu kerusakan moral sampai kepada tingkat yang terparah, yakni merusak moral dan tingkah laku anak sekolah dasar (SD)?


Kita sudah pernah mengetahui kasus anak sekolah SMP melakukan pemerkosaan akibat menonton film porno, dan jangan sampai terulang kasus yang sama dengan judul yang berbeda, yakni “ dua pasangan bocah sekolah dasar melakukan seks bebas “ di kemudian hari bila pemerintah tidak secara tegas merealisasikan undang-undang ini di dalam kehidupan bermasyarakat..
UU Pornografi bukanlah dikhususkan bagi perlindungan anak semata, melainkan bertujuan untuk mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan, dan juga mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat, seperti yang tercantum di dalam pasal 3 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Pornografi. Meskipun begitu, anak-anak dan perempuanlah yang paling sering dirugikan akibat dampak dari pornografi. Bagaimana tidak, materi-materi pornografi yang paling umum adalah sensualitas yang ditampilkan dari tubuh wanita, dan yang menikmati itu sebagian besarnya adalah kaum pria.
Lelaki dewasa maupun anak laki-laki normal ialah sama sukanya dengan wanita, namun lelaki dewasa lebih bisa menahan diri dari ancaman dampak pornografi bila dibandingkan dengan anak laki-laki yang sedang menjalani masa remajanya, akan sangat sulit menahan diri dari godaan yang dihasilkan dari pornografi. Ini dikarenakan masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak, mencoba-coba dan menirukan apa yang dilakukan sang idolanya. Jadi, bisa dibayangkan bila seorang artis yang di idolakannya itu memerankan/ mempertunjukkan pola hidup seks bebas di salah satu adegan film, maka bisa sangat mungkin remaja tersebut meniru apa yang dilihatnya dari perbuatan sang idola. Maka dari itu, dalam pelaksanaan pencegahan dan memperbaiki tatanan kehidupan masyarakat yang telah rusak moralnya akibat dampak pornografi, Lembaga Sensor Film (LSF) harus lebih bijak dan hati-hati lagi dalam melakukan fungsinya. Paling tidak, fungsi LSF semestinya sinkron dengan nilai-nilai yang terdapat dalam UU Pornografi.
Bila dihadapkan dengan maraknya penayangan film-film semi porno di bioskop-bioskop, LSF telah gagal menjalankan fungsinya untuk “melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukan dan/ atau penayangan film yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman Indonesia”. Lebih disayangkan lagi bila LSF juga tidak mampu menganalisa suatu film tertentu mengandung unsur pornografi atau tidak, dan akan berdampak negatif pada khalayak penonton atau tidak. Akibatnya film-film seperti “ Kutunggu Jandamu “ lah yang ditonton oleh masyarakat.
Seperti halnya film layar lebar “Kutunggu Jandamu” dan masih banyak lagi yang lain, merupakan film yang mengangkat keberadaan remaja sebagai individu yang ingin merasakan apa yang semestinya tidak boleh, menjadi salah satu film yang banyak ditonton kalangan remaja pula. Pengumbaran sensualitas pornografi sangat terasa pada film-film tersebut. Walaupun judulnya tidak berbau pornografi, akan tetapi tema (angle) ceritanya sudah melanggar UU pornografi pasal 4 ayat 1 huruf h, yakni setiap orang dilarang memuat ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan. Dan lagi-lagi remaja lah yang menjadi korban penyebaran pesan pornografi.
Sepertinya pembuat film faham betul bahwa pangsa pasar yang sangat besar itu adalah remaja. Karena remaja sangat peka terhadap hal-hal yang baru. Ikut-ikutan teman agar tidak dibilang ‘kuper’dan mudah dihinggapi rasa penasaran akan sesuatu hal yang akhirnya menjadikan mereka sebagai target sempurna untuk meraih keuntungan. Oleh karenanya, pembuat film merangsang remaja sebagai pasar mereka dengan unsur-unsur pornografi dengan tema remaja di dalamnya. Hanya sedikit dari pembuat film yang menyajikan unsur-unsur yang mendidik anak seperti ‘Laskar Pelangi’, ‘Denias’ dan juga ‘Naga Bonar’.
Tidak beretika, pembodohan, dan konyol ialah kata-kata yang sudah sepatutnya dapat dikeluarkan dari mulut kalangan remaja saat ini bila mengetahui muncul film-film yang merusak moral. Akan tetapi, fenomena berkata lain. Malah sebaliknya remaja sangat mengagumi film-film tersebut dengan berkomentar bahwa “inilah film anak gaul, bila tidak menonton berarti tidak gaul”. Ternyata pembodohan sudah menjajah negri ini dengan mengagungkan kata-kata “gaul“ di kalangan remaja. Penjajahan model baru di era yang baru yakni era tekhnologi informasi. Maka barang siapa yang mampu mengendalikan informasi, maka dialah yang menang.
Tidak ada kata terlambat bagi pemerintah dalam menyatakan perang terhadap pornografi. Seperti halnya SBY yang dengan tegas menyatakan perang terhadap korupsi walau awalnya sebagian besar orang tidak setuju dan ragu akan keberhasilan memberantas kosupsi. Namun hasilnya, siapa sangka Indonesia dapat keluar dari daftar urutan teratas yang menyandang gelar koruptor. Sikap konsisten seperti ini lah yang telah membawa kemajuan untuk bangsa ini. Korupsi yang telah mengakar menjadi tradisi saja bisa diberantas, apalagi pornografi yang bukan bagian dari tradisi dan kultur bangsa ini. Mungkin pemerintah juga perlu menciptakan komisi anti pornografi? Hanya saja harus melawati tahap-tahap yang sangat sulit, karena pornografi merupakan bagian dari bisnis. Bisnis tersebut seperti industri perfilman, majalah dewasa, perdagangan wanita, serta industri produk pornografi, yakni seperti kondom dan lain sebagainya.
Atau juga pembuat film mempunyai maksud untuk menjadikan remaja di negri ini cinta dengan pornografi. Mengapa demikian? Karena film merupakan bentuk dari komunikasi, dan komunikasi itu sendiri mempunyai tujuan untuk mempengaruhi audience mulai dari cara berfikir, perilaku dan sampai kepada tingkah laku yang sesuai dengan pesan yang mereka harapkan.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Langkah bijak yang perlu dilakukan secepatnya terhadap penayangan film yang tersangkut masalah pornografi ini, LSF seharusnya telah bisa membatalkan surat atau tanda lulus sensor untuk suatu film yang telah/ pernah ditayangkan di tanah air baik itu tayangan di TV maupun di bioskop-bioskop guna membuktikan diri bahwasanya LSF tidak asal-asalan serta mempunyai tanggungjawab atas profesi dan tugas yang diembannya sebagai perpanjangan tangan pemerintah.



Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UMSU
http://akurasi-informasi.blogspot.com


2 komentar:

joe mengatakan...

Kalau baca "Kenapa Berbikini Tak Langgar UU Porn" (ada di Gramedia), maka yang mendukung UU Porn harus menolak, dan yang menolak seharusnya mendukung. Dunia sudah bolak balik. Agar kita tidak terbolak balik juga, maka kita perlu membaca buku di atas.

Anonim mengatakan...

GW DAH BACA.. BUKUNYA BAGUS...

Posting Komentar

Recent Comments